*Oleh: Slamet Firdaus
( Dosen IAIN Syekh Nurjati Cirebon)
Abstrak
Theo-humanistik sebagai paradigma dalam memandang al-Qur`an secara proporsional sejalan dengan esensinya yang berdimensi ke-Tuhan-an dan keman usiaan dapat membantu untuk meminimalisir (jika tidak disebut menghapuskan) kesan sebagian umat Islam terhadap al-Qur`an yang memposisikannya sebagai petunjuk hidup yang berwatak theosentris semata. Kesan tersebut berdampak kepada pandangan yang mengkontradiksikan antara pesan-pesannya yang ideal dan normatif dengan ilmu modern yang berkarakter objektif dan empirik. Theo-humanistik menjadi jembatan penghubung yang dapat mengakrabkan keduanya dan bisa membantu lahirnya kolaborasi, yang keberadaan kolaborasi itu sesungguhnya bersifat fitri. Manakala tidak dilakukan upaya tersebut, kemudian tetap pada pendirian memversuskan keduanya, maka telah terjadi pengasingan terhadap eksistensi kolaborasi sebagai fitrah.
A. Pendahuluan
Sehubungan adanya keinginan kuat melibatkan kajian multi disipliner keilmuan sehingga sedemikian besar peluang kolaborasi antara kajian keilmuan yang empirik objektif dengan agama yang bersumber dari al-Qur`an serta hadis yang bersifat samawi dan subjektif, maka dibutuhkan upaya dialektik antara keduanya. Semangat kolaborasi yang tinggi ini mendudukkan ilmu modern sedemikian luas ruangnya untuk didialogkan dengan teks-teks agama terutama ayat-ayat al-Qur`an, sekaligus dapat dijadikan rujukan pembantu atau skunder (jika belum dapat disebutkan sebagai referensi primer, karena terkesan ekstrim) dalam menafsirkannya. Dalam konteks ini dipandang perlu penggunaan paradigma yang relevan dalam mempersepsikan al-Qur`an itu sendiri yang dapat berperan menciptakan suasana dialektis dalam upaya kolaborasi yang serasi, yang dapat membantu untuk memecahkan persoalan klasik yang mendihotomikan antara teori keilmuan modern yang empirik objektif dan teks ayat yang samawi dan dogmatik yang menjadi dogma agama.
Sementara kalangan menilai bahwa ilmu modern adalah sebagai entitas yang representasi keilmuan yang bersifat empiris-realistis dan objektif. Sifatnya yang objektif tersebut menjauhkannya dari disiplin ilmu keagamaan. Bahkan, di kalangan sebagian ilmuwan terdapat anggapan bahwa spiritualitas agama sebagai penyebab mandegnya perkembangan ilmu pengetahuan. Sebaliknya, ilmu pengetahuan dalam perspektif sebagian agamawan merupakan ancaman bagi dogma agama..
Oleh karena dua kutub pemikiran ini berada pada wilayah yang bersebrangan hingga mengesankan ilmu pengetahuan modern versus agama, meskipun antara keduanya belum tentu sepenuhnya sesuai dengan kerangka pemikiran mereka, bahkan bisa jadi, keduanya (ilmu pengetahuan modern dan agama) memiliki keterpautan yang subtantansial dan signifikan, sehingga peluang untuk mengkolaborasikan terbuka lebar. Literatur Islam banyak menginformasikan fakta-fakta yang menjastifikasi hal tersebut yang dapat dijadikan acuan, di antaranya ialah kitab tafsir ‘ilmiy karya imam Ṭanṭāwiy Jawhariy (1287-1358 M/1870-1940 M) bertajuk al-Jawāhir fī Tafsīr al-Qur`ān al-Karīm. Kerja intelektualnya ini diilhami oleh penilaiannya bahwa ayat-ayat al-Qur`an yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan tidak kurang dari 750 ayat, sedangkan ayat-ayat yang menyangkut fiqih, menurutnya, tidak lebih dari 150 ayat.
Kendati demikian mempertimbangkan kedua kutub pemikiran yang terkesan kontradiksi tersebut, maka mencarikan solusinya yang bersifat kolaboratif dan akomodatif menjadi kebutuhan yang mendesak. Bukti yang menunjukkan masih kentalnya pergumulan kedua kutub pemikiran tersebut adalah sebutan ilmunya orang kafir yang sering dilontarkan oleh sebagian pakar muslim dan pengikutnya terhadap ilmu pengetahuan modern produk para ilmuwan barat, dan memberikan label sebagai simpatisan atau aktivis Jaringan Islam Liberal kepada orang-orang yang mengkritisi teks-teks keagamaan Islam dengan menggunakan pendekatan teori-teori dan metode pemikiran barat, dan sebaliknya melekatkan merek sebagai penganut kaum fundamentalis atau ortodok yang dinilainya berperilaku keras dan ekstrim kepada sebagian umat Islam yang mengklaim dirinya pemikir dan pejuang akidah dan syareat secara radikal serta menganggap ilmu pengetahuan modern menjadi musibah bagi kemurnian agama. Bukti lain yang tidak kalah akuratnya ialah kehawatiran tergesernya peran dan popularitas fakultas, jurusan, atau program studi ilmu-ilmu agama oleh fakultas, jurusan, atau prodi ilmu-ilmu umum yang berada di bawah naungan Perguruan Tinggi, Universitas, atau Institut Agama Islam Negeri atau Suwasta.
Sampai di sini sudah jelas akan perlunya paradigma tersebut, yang secara axiologis berfungsi sebagai jembatan yang dapat menghubungkan keduanya dan saling meberikan kontribusi yang positif terhadap kedua kutub pemikiran tadi, sehingga cukup alasan keberadaannya dapat digunakan untuk mendialogkan dan mengkolaborasikan antarkeduanya. Demikian pentingnya paradigma tersebut menjadikan fokus kajian mengenai hal ini sungguh setrategis serta urgen. Sedangkan paradigmanya diberi nama Theo-humanistik.
B. Konsep Dasar Theo-humanistik
Theo-humanistik adalah suatu paradigma yang dibangun di atas anggapan dasar (postulat) tentang keberadaan manusia yang memiliki dimensi ke-Tuhan-an dan kemanusiaan. Kedua dimensi ini berpeluang setara (egalit) untuk dikembangkan secara bersama-sama dan integral, sehubungan setatus manusia adalah makhluk Tuhan yang diciptakan-Nya dengan mempunyai unsur ruh dan jasad. Ruh dianugerahkan Tuhan kepada manusia melalui tiupan-Nya, dan secara umum, jasad diciptakan-Nya melewati proses perkembangan secara bertahap.
Dalam memandang keberadaan dirinya, umat manusia sepanjang perjalanan sejarahnya hingga sekarang telah melaluinya dengan kecenderungan kepada dua alur pemahaman, sebagian dari mereka sangat condong kepada salah satu dari kedua dimensi manusia, dan sebagian lainnya mengokohkan pemahamannya kepada pengembangan kedua dimensi tersebut secara berbarengan dan integral. Kondisi yang berbeda antarumat manusia dalam memahami tentang keberadaan manusia merupakan realita yang tidak dapat dipungkiri oleh siapapun, baik dilihat dari sisi fakta sejarahnya, maupun dipandang dari segi sunnat Allah-nya, sehingga keberadaan kedua arus pemikiran tersebut merupakan keniscayaan yang melekat pada kehidupan manusia.
Umat Islam dalam sejarahnya telah memberikan andil besar bagi kejelasan konsep kolaborasi dan integrasi kedua dimensi tersebut. Para pakar tasawuf menjadikan keduanya sebagai bahan kajian yang mendalam, dan mengkaitkannya dengan kualitas manusia, yang melahirkan berbagai teori tasawuf, baik bercorak falsafi maupun khuluqi (amali). Dhū al-Nūn al-Miṣriy (w. 860 M) misalnya yang mengajarkan tentang ma’rifat Allah (mengenal atau mengetahui Allah), Abū Yazīd al-Busṭāmiy (w. 874 M) menawarkan konsep al-fanā` wa al-baqā` (meniadakan diri akan kepentingan-kepentingan nafsu kemanusiaan dan mengekalkan sifat-sifat mulia Tuhan), dan al-Ḥallāj (w. 922 M) yang mengajarkan al-Ḥulūl sebagai suatu konsep tasawauf yang menekankan kepada upaya sungguh-sungguh menenggelamkan nafsu kemanusiaan (nasūt) dan menumbuhkembangkan sifat-sifat ke-Tuhanan (lahūt) sehingga terjadi keterpaduan antara manusia dengan Allah. Akan tetapi perdebatan terjadi ketika pemikiran para sufi dihadapkan dengan kaum Ẓāhiriy atau pakar-pakar syareat yang menekankan kepada aspek syareat (lahiriah) hingga berdampak kepada tradisi saling memurtadkan dan mengkafirkan, yang berujung kepada terbunuhnya al-Ḥallāj. Kaum Ẓāhiriy mencapnya sebagai penyebar aliran sesat yang layak menerima hukuman mati.
Kajian para pakar tasawuf tersebut, meskipun terkesan lebih menekankan sisi theosentrisnya, sesungguhnya melibatkan sepenuhnya kajian mendasar terhadap sosok manusia secara utuh. Tasawuf yang mengedepankan aspek subjektifitas manusia dan menonjolkan hubungannya yang harmoni (mesra) dengan Tuhannya, bahkan berupaya melakukan penyatuan diri dengan-Nya berada pada tingkat tertentu yang lebih tinggi setelah melewati tahapan kajian lahiriyahnya yang sedikit banyak menyentuh sisi objektifitasnya. Artinya penguasaan mereka terhadap syareat (fiqih) telah terlewati dan menyatu dalam diri mereka, sehingga mereka tidak menegasikan syareat, apalagi menolaknya.
Keutuhan kajian tasawuf terhadap wujud manusia merupakan karakteristiknya yang khas sebagai akibat dari orientasinya yang berusaha menemukan figur manusia yang sempurna (insān kāmil). Ini merupakan nilai tambah yang dimilikinya di tengah-tengah studi yang berbasis ilmu pengetahuan modern yang dikesankan empiris objektif. Ketimpangan mendasar dan prinsipal yang dialami oleh sebagian besar para pakar ilmu pengetahuan modern adalah terletak pada memfokuskan kajiannya tentang manusia pada hal-hal yang objektif semata dengan mendiskreditkan aspek subjektifitasnya (kalau tidak patut dijuluki dengan menafikannya). Kajian yang melibatkan kedua aspek manusia tersebut menjadi niscaya disebabkan realita kedua aspek tersebut melekat secara integral pada dirinya.
Suatu hal yang realistis dan menyejarah, serta diakui oleh para pakar ilmu pengetahuan modern ialah dalam wilayah pembahasan psikologi misalnya, terdapat pakar yang berupaya membaca manusia secara utuh dengan memadukan faktor objektif dan subjektif. Maslow (1908-1970 M) sebagai tokoh Humanisme merupakan salah satu pakar spikologi yang melakukan upaya tersebut, menurutnya sebuah teori yang menyeluruh tentang tingkah laku manusia harus mencakup komponen-komponen yang menyatu dalam diri manusia, baik determinan-determinan internal atau intrinsik tingkah laku maupun determinan-determinan ekstrinsik atau eksternal dan environmentalnya. Freud terlalu terpukau pada yang pertama, sedangkan kaum Behavioris terfokus pada yang kedua. Kedua pandangan itu perlu digabungkan. Studi objektif semata tentang tingkah laku manusia belumlah cukup untuk memperoleh konsep yang menyuluruh, maka segi subjektif manusia perlu dipertimbangkan, seperti perasaan, keinginan, harapan, dan aspirasi agar dapat memahami tingkah lakunya. Apalagi menurutnya manusia memerlukan filsafat hidup, agama atau sistem nilai, dan pengalaman puncak (peak experience) yang menjadi salah satu dari tiga teorinya ada pada inti agama. Akan tetapi ia menilai bahwa banyak agama cenderung menekankan aspek-aspek jahat manusia sebagai sesuatu yang melekat, tetapi gagal menunjukkan bahwa nilai-nilai luhur pun bersifat intrinsik (melekat) pula.
Pendapat Maslow ini menjadi fenomena dan sekaligus fakta yang mengindikasikan terdapat pakar ilmu pengetahuan modern yang memiliki visi yang kuat dan upaya yang rasional mewujudkan kolaborasi (jika belum waktunya disebut integrasi) anatara agama dan ilmu pengetahuan modern dengan memadukan secara harmoni antara faktor objektif dan subjektif manusia. Dengan kata lain pengkolaborasian itu merupakan keniscayaan, dan kolaborasi tersebut dalam konsep Theo-humanistik berangkat dari visi tentang kedua dimensi yang melekat pada diri manusia secara terpadu dan holistik.
C. Al-Qur`an Berwatak Theo-humanistik
Al-Qur`an yang berperan sebagai petunjuk (hudan) sepanjang zaman menjadi media bagi Allah swt menyampaikan gagasan dan pesan-Nya kepada manusia sekaligus merupakan sarana bagi manusia untuk memahami gagasan dan pesan-Nya tersebut. Keberadaannya yang signifikan ini meletakkan al-Qur`an sebagai wasilah atau instrumen dialog antara manusia dengan Allah swt. Peluang dan kemampuan dialog tersebut dikarenakan secara subtansial al-Qur`an berdimensi ke-Tuhan-an dan kemanusiaan, serta berdimensi waktu masa lalu, masa kini, dan akan datang.
Dimensi ke-Tuhan-an, sesungguhnya berorientasi kepada tuntutan ideal Tuhan atas manusia yang tertuang dalam al-Qur`an dan dimensi kemanusiaannya berupa pengakuan Tuhan atas realitas manusia yang diciptakan-Nya sebagai makhluk yang memiliki keistimewaan, di antaranya ialah hidāyah atau petunjuk hidup (innā hadaynāhu al-sabīl immā shākiran wa immā kafūran), sekaligus juga memiliki kelemahan (wa khuliq al-Insān ḍa’īfan), seperti sifat-sifat buruknya ẓalūman jahūlam (berbuat aniaya dan bodoh). Sedangkan dimenasi masa lalu berkaitan dengan sejarah turunnya, terutama sebab turun surah atau ayat (sabab al-nuzūl), serta dimensi masa kini dan masa akan datang berhubungan dengan pemanfaatan fungsinya (sisi axiologi) sebagai petunjuk hidup secara maksimal dalam kehidupan individual dan komunal.
Respon Tuhan terhadap peristiwa yang terjadi pada masa diturunkan al-Qur`an yang dijadikan sebagai sebab turunnya ayat atau surah (sabab nuzūl) merupakan bukti pengakuan Tuhan terhadap keberadaan manusia, disamping pengukuhan akan tuntutan ideal-Nya yang merupakan basis utama Theo-humanistik. Demikian pula pemanfaatan fungsinya sebagai hidayah di masa kini dan akan datang tidak dapat dilepaskan dari Theo-humanistik mengingat di dalamnya terkandung secara bersamaan antara tuntutan ideal Tuhan dan pengakuan-Nya akan realitas keterbatasan kemampuan manusia dalam berusaha mencapai tuntutan ideal tersebut.
Tuntutan ideal Tuhan, semacam agar manusia menjadi sosok muttaqīn yang sebenar-benarnya (ḥaqq tuqātih), muslimīn kāffah, mu`minīn ḥaqq, dan muḥsin (pelaku ihsan sejati) merupakan sesuatu yang logis mengingat manusia sebagai makhluk yang unik, bukan saja sebagai ḥayawān nāṭiq (hewan yang dapat berbicara dan berfikir), tetapi lebih jauh dari itu, yakni memiliki dimensi ke-Tuhan-an dan kemanusiaan, serta mempunyai potensi internal (determinan intrinsik) dan eksternal (determinan ekstrinsik) yang menjadi keistimewaannya.
Potensi internalnya berupa fiṭrah rūhāniyyah di mana ruh manusia berasal dari ruh Tuhan atau milik-Nya , dan fiṭrah majbūlah sebagai pemberian Tuhan yang tidak akan mengalami perubahan dan menjadikan manusia cenderung kepada agama berupa ajaran tauhid yang berwujud dalam ma’rifat Allah wa mahabbatuh (mengenal dan mencintai Allah)). Sedangkan potensi eksternalnya adalah fiṭrah munazzalah berupa ajaran agama (syir’ah) yang tertuang dalam al-Qur`an yang diturunkan Tuhan untuk menguatkan fiṭrah majbūlah, dan potensi eksternal lainnya ialah fiṭrah mukammilah (penyempurna) berupa rasul yang diutus Tuhan bertugas mengingatkan manusia akan pentingnya fitrah, mengokohkan, dan membantu untuk mengembangkan dan menyempurnakannya, serta melindunginya dari segala hal yang akan merubahnya. Kedua faktor tersebut (internal dan eksternal) yang cwndweung berwatak ke-Tuhan-an dan berasal dari Tuhan menjadi penyebab manusia mempunyai konsekwensi untuk memenuhi tuntutan ideal Tuhan.
Adapun pengakuan Tuhan akan realitas kelemahan manusia, baik sisi lahiriah, batiniah, maupun akliah menjadi faktor penyebab Dia memberikan batas-batas toleransi kepada manusia karena dengan kelemahan tersebut menjadikan manusia memeiki keterbatasan dalam memenuhi tuntutan ideal-Nya, sehingga bisa jadi dalam ukuran-ukuran tertentu terdapat jurang pemisah antara realitas dan nilai ideal atau antara kelemahan manusia dan tuntutan ideal-Nya.
Dengan demikian Tututan dan pengakuan-Nya tersebut menjadikan manusia, secara kualitatif terbelah menjadi dua kategori, yaitu mereka yang dapat mencapai tuntutan ideal Tuhan dan mereka yang tidak dapat mencapai tuntutan tersebut. Golongan yang termsuk kategori kedua terbagi kepada predikat positip dan negatip. Termasuk ke dalam predikat positip bila seseorang tetap menjadi muslim meskipun tidak mencapai derajat muḥsin, dan tergolong predikat negatif jika seseorang menjadi pihak yang menganiaya diri sendiri (ẓālim li nafsih) dengan julukan kafir, munafiq, musyrik, fasik, pelaku maksiat, dan sebagainya. Dengan kata lain tidak seluruh manusia dapat mencapai tuntutan ideal Tuhan. Secara esensial dapat disebutkan bahwa “Theo-humanistik” merupakan ide Tuhan yang teraktualisasikan dalam al-Qur`an.
Beberapa ayat yang dijadikan sample sekaligus sebagai argumen yang menunjukkan bahwa al-Qur`an itu “Theo-humanistik” ialah ayat-ayat yang memuat ajaran ibadah serta memohon pertolongan dan jalan yang lurus kepada Tuhan (QS. Al-Fātiḥah/1 : 5-7), ajaran taubat yang mana manusia berbuat dosa dan Allah siap mengampuninya (QS. Al-Taḥrīm/66 : 8 dan QS. Al-Mā`idah/5 : 70-71), sharī’at rukhṣah (dispensasi) seperti orang sakit, orang yang bepergian, dan orang yang lemah tidak mampu berpuasa dapat diganti dengan berpuasa di selain bulan Ramadan atau membayar fidyah (QS. Al-Baqarah/2 : 184), dan seperti ketentuan tentang diyat yang menggantikan penerapan qiṣāṣ karena keluarga korban memaafkan terdakwa (QS. Al-Baqarah/2 : 178), orang-orang-orang yang lemah, sakit, atau tidak memiliki persediaan nafkah bagi keluarga diperkenankan tidak ikut berjihad (QS. Al-Taubah/9 : 91). Alhasil, anggapan dasar dan rujukan pokok yang mengukuhkan al-Qur`an adalah “Theo-humanistik” bermuara pada firman-Nya “lā yukallif Allah nafsan illā wus’ahā lahā mā kasabat wa ‘alayhā mā iktasabat” (QS. Al-Baqarah/2 : 286), artinya Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapatkan pahala (dari kebajikan) yang dilakukannya, dan ia mendapatkan siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya, dan firman-Nya lā yukallif Allah nafsan illā mā atāhā (QS. Al-Ṭalāq/65 : 7), artinya Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan apa yang dapat dilakukannya.
Ayat-ayat tersebut mengesankan firman-Nya yang seolah-olah paradok. Di satu saat mengharuskan manusia beribadah semata-mata kepada-Nya sebagai manifestasi dari hak-Nya yang semestinya dipenuhi oleh manusia sebagai kewajiban agar menjadi pribadi yang rendah hati, dan di saat yang sama Allah mempermaklumkan kealpaan manusia dalam memenuhi kewajiban beribadah kepada-Nya dengan sebaik mungkin, sehingga Dia memberinya kesempatan untuk memohon pertolongan kepada-Nya. Artinya, Bersamaan dengan Allah memerintahkan manusia beribadah dengan sebaik-baiknya dan berkualitas, Dia pun memproklamirkan bahwa ibadah tidak dapat dilaksanakan dengan sempurna akibat kelemahan manusia kecuali dengan pertolongan-Nya.
Pemberian kesempatan bertaubat dari Allah kepada manusia dan penerimaan-Nya atas segala bentuk pertaubatan yang dilakukannya bertepatan dengan penekanan larangan-Nya kepada manusia melakukan kesalahan, maksiat, dan dosa yang berdampak kepada mendatangkan siksaan yang akan menyengsarakannya merupakan bukti berikutnya yang semakin menambah kuatnya kesan seakan-akan ayat-ayat-Nya itu paradok. Hal ini bermakna bahwa di samping larangan-Nya yang sedemikian kuat supaya manusia tidak berbuat maksiat yang disertai dengan ancaman yang menakutkan, tetapi Dia juga menawarkan alternatif untuk memperbaiki diri yang diiringi dengan berita gembira akan pahala yang patut diterima manusia.
Ajaran tentang dispensasi (rukhṣah) sebagai pilihan yang menggantikan kewajiban utamanya menambah sederetan kesan seakan-akan firman-Nya itu paradok, mengingat ajaran tersebut mencerminkan melemahnya kehendak Allah karena rahmat dan barakah-Nya di kala menuntut manusia dengan sangat ketat untuk melakukan kewajiban dalam melaksanakan perintah-Nya yang dibarengi dengan teror siksaan-Nya yang mengerikan apabila meninggalkannya.
Sikap Allah yang terkesan paradoksal yang tertuang dalam firman-firman-Nya tersebut sesungguhnya mengindikasikan keberadaan kebijakan-Nya yang Theo-humanistik dan sekaligus menempatkan al-Qur`an sebagai kumpulan firman-Nya yang Theo-humanistik pula, yang menampung sekaligus secara konsekwen dan holistik keseluruhan tuntutan dan pengakuan-Nya atas kelemahan manusia yang menjadi kondisi objektifnya. Oleh karenanya, dalam menafsirkan firman-Nya membutuhkan pemaduan antara memperhatikan tuntutan ideal Tuhan dan kondisi objektif manusia.
Penafsiran ayat-ayat tentang manusia dengan memusatkan sepenuhnya kepada tuntutan ideal Tuhan dengan tidak memperhatikan keberadaan kondisi manusiawi yang diakui-Nya terkesan Theo-sentris, penafsirannya yang berorientasi secara ekstrim kepada diri manusia, baik dengan kajian objektif seperti aliran psiko-analisis (Freudianisme) dan behaviurisme, maupun dengan kajian gabungan antara keduanya seperti gagasan psikologi humanisme atau transpersonalnya Maslow dengan menegasikan tuntutan ideal Tuhan cenderung Anthropo-sentris. Kolaborasi keduanya melahirkan “Theo-humanistik” yang secara implisit meletakkan penafsiran ayat-ayat al-Qur`an, khususnya tentang sosok manusia berhajat kepada kajian yang terpadu antara Anthropo-sentris dan Theo-sentris sekaligus. Artinya paradigma “Theo-humanistik” membuka lebar ruang peranserta hasil kajian manusia cerdas yang menggunakan pendekatan anthropo-sentris.
Dalam konteks ini, agaknya dapat dipertimbangkan sebagai indikasi kuat dalam al-Qur`an terdapat pesan-pesannya yang menghendaki kolaborasi dan integrasi tersebut, di antaranya ialah pesan yang berkenaan dengan karakteristik Ulī al-Albāb yang mengkolaborasikan dan mengintegrasikan antara fikir yang berdimensi rasional dan logis menjadi power yang melahirkan model ilmu pengetahuan modern yang antroposentris, dan dzikir yang berbasis spiritualitas yang lebih merujuk kepada hal-hal berwatak theosentris dengan endingnya adalah pengakuannya secara konsisten pe-Mahasucian Alah swt (al-ladhīna yadhkurūn Allah qiyāman wa qu’ūdan wa ‘alā junūbihim wa yatafakkarūn fī khalq al-samāwāt wa al-arḍ, rabbanā mā khalaqta hādhā bāṭilan subḥānaka faqinā ‘adhāb al-nār) yang terkait erat dengan ranah affeksi. Penyebutan penciptaan langit dan bumi serta silih bergantinya siang dan malam yang menjadi tanda-tanda kekuasaa-Nya yang bernilai dan bermakna bagi Ulī al-Albāb menandakan akan pentingnya pendayagunan secara maksimal potensi berfikir hingga mencapai tingkat kualitas ahli berfikir yang sehat, tulus, dan sempurna atau komprehensip, mengingat berfikir tergolong ke dalam ibadah yang luhur, dan pencantuman redaksi al-dhīna yadhkurūna Allah (mereka yang selalu berdhikir kepada Allah) yang menjadi karakternya Ulī al-Albāb mengisyaratkan segi spiritualitas mempunyai peranan yang signifikan dalam kehidupannya. Keterpaduan keduanya dalam diri Ulī al-Albāb yang dijadikan Allah sebagai sifat unggulnya merupakan pengukuhan akan perlunya kolaborasi antara antroposentris dan theosentris.
Sebagai kitab yang lengkap dan sarat nilai, al-Qur`an menjelaskan pula tentang keterpaduan tersebut berkaitan dengan karakteristik ulama. Sifat utama ulama dilukiskan oleh surah Fāṭir/35 : 28 sebagai sosok pribadi yang takut kepada Allah (innamā yakhsha Allah min ‘ibādih al-‘ulamā`). Berkenaan dengan hal tersebut, penetapan khashyah menjadi sifat utama seorang‘ālim dikarenakan pengetahuannya yang proporsional tetang Dhāt yang layak untuk ditakuti dan sifat-Nya untuk diyakini sebagai belief sistem serta perbuatan-Nya yang seharusnya disyukuri, sehingga seorang yang semakin mengetahui lebih jauh tentang Allah swt, semakin takut kepada-Nya merupakan penegasan akan keharusan cendekiawan sejati memiliki karakter tersenut. Penyebutan perbuatan-Nya yang menunjukkan ke-Mahakuasaan-Nya, berupa penciptaan hujan, buah-buahan yang beraneka macam, gunung-gunung yang bergaris-garis putih, merah, dan hitam pekat, dan penciptaan manusia yang beragam aspeknya, binatang-binatang melata, serta binatang-binatang ternak dengan beragam warna dan jenisnya merupakan objek kajiannya yang dipastikan berujung kepada pengakuannya yang tulus dan mengakar ke dalam lubuk hati terhadap ke-Mahaagungan-Nya, yang sekaligus menunjukkan keberhasilannya meraih predikat cendekiawan tulen (al-‘ulamā).
Lebih jauh paradigma ini dapat menarik lebih dekat produk anthropo-sentris yang terkesan sekuler kepada sentuhan nilai-nilai religius yang samawi (wahyu), dan memanfaatkan teori-teori anthropo-sentris sebagai pisau analisis untuk melihat dan memaknai wahyu hingga terkesan membumi atau menyentuh realitas kehidupan (al-wāqi’iyyah), dan dalam batas-batas tertentu wahyu dan kaedah-kaedah universal yang dihasilkan oleh anthropo-sentris dapat dikolaborasikan mengingat wahyu (agama) dan teori-teori universal memiliki titik temu, tidak selamanya saling bersebrangan secara ekstrim, sehingga keduanya dapat disandingkan agar terjadi dialog yang sehat, kemudian bisa menghasilkan pemilihan dan pemilahan antara yang memiliki relevansi dan yang tidak mempunyainya.
D. Penutup
Al-Qur`an berikut dogma-dogmanya dan ilmu pengetahuan modern sebagai sesuatu yang holistik dan merupakan sesuatu yang fitri. Keduanya tidak dapat dipisahkan, karena terdapat perekat yang melekatkan keduanya secara dialogis dan kolaboratif, atau memiliki jembatan penghubung antara keduanya yang berakibat kepada terwujudnya saling memerlukan, meski keduanya berada pada posisinya masing-masing.
Sampai di sini kiranya dapat disebutkan bahwa kontribusi makalah ini hanya sebatas memberikan pengantar yang mudah-mudahan bisa mendorong upaya akademik dalam rangka memperdalam paradigma Theo-humanistik hingga semakin tampak sosoknya yang utuh. Oleh karena sebagai pengantar, maka dalam makalah ini dijumpai banyak kekurangan dan kesalahan yang mencerminkan kecekakan wawasan dan analisis penulisnya, dan penulislah orang pertama yang merasakannya.
LITERATUR
Bayḍāwiy, al-, Nāṣir al-Dīn Abī Sa’īd ‘Abd Allah ibn ‘Umar ibn Muḥammad al-Shīrāziy, Anwār al-Tanzīl wa Asrār al-Ta`wīl, Tafsīr al-Bayḍāwīy, Beirut, Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1999.
Biqā’iy, al-, Burhān al-Dīn Abī al-Ḥasan Ibrāhīm ibn ‘Umar, Naẓm Al-Durar fī Tanāsub Al-Āyāt wa Al-Suwar, Beirut, Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2003.
Crapps, Robert W, An Introduction to Psychology of Religion, Terjemahan AM. Harjana, Dialog Psikologi dan Agam, Yogyakarta, Kanisius, 1993.
Dhahabiy, al-, Muḥammad Ḥusein, Al-Tafsīr wa al-Mufassirūn, Beirut, Dār al-Turāth al-‘Arabiy, 1976.
Echols, John M. dan Hassan Shadily, An English-Indonesia Dictionary – Kamus Bahasa Inggris Indonesia, Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, 1995.
Goble, Frank G, The Third Force, The Psychology of Abraham Maslow, New York, N.Y, Washington Square Press, 1971.
Ibn ‘Āshūr, Muḥammad Ṭāhir, Tafsīr al-Taḥrīr wa al-Tanwīr, Tūnis, Dār Suḥnūn li al-Nashr wa al-Tauzī’, Tanpa Tahun.
Ibn Taimiyyah, Taqy al-Dīn Abī al-‘Abbās Aḥmad ibn ‘Abd al-Ḥalīm ibn ‘Abd al-Salām al-Ḥarrāniy al-Damshiqiy, Al-Tafsīr al-Kāmil, Beirut, Dār al-Fikr, 2002.
Jawhariy, Ṭanṭāwiy, al-Jawāhir fī Tafsīr al-Qur`an al-Karīm al-Mushtamil ‘alā ‘Ajā`ib badā`i’ al-Mukawwanāt wa Gharā`ib al-Āyāt al-Bāhirāt, Beirut, Dār Iḥyā` al-Turāth al-‘Ārabiyyah, 1991.
Madjid, Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban “Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemoderenan”, Jakarta, Paramadina, 2005.
Maslow, Abraham Harold, Motivation and Personality, New York, Revised by Robert Froger, James Fadiman, Cynthia McReynolds, Ruth Cox, Third Edition, Longman, 1987, Edisi Bahasa Indonesia Penerjemah Nurul Imam, Motivasi Dan Kepribadian, Jakarta, Pustaka Binaman Pressindo, 1993.
Nasution, Harun, Filsafat dan Mistisisme Islam, Jakarta, UI Press, 1990.
Shaukāniy, al-, Muḥammad ibn ‘Ali ibn Muḥammad, Fatḥ al-Qadīr al-Jāmi’ bayna Fannay al-Riwāyah wa al-Dirāyah mīn ‘Ilm al-Tafsīr, Beirut, Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Tanpa Tahun.
Shirbāṣiy, al-, Aḥmad, Qiṣṣat al-Tafsīr, Mesir, Dār al-Qalam, 1962.
Thouless, Robert H, An Introduction to the Psychology of Religion, terjemahan Machnun Husein, Pengantar Psikologi Agama, Jakarta, Raja Grafindo, 1992.
_____________________________________________