JAM LAYANAN

Senin - Kamis : 08.00 - 16.00
Jum'at : 08.00 - 16.30

Cirebonologi dalam Perspektif Studi Kawasan dan Islam

Oleh : Mahrus eL-Mawa*

Prasasti “Cirebonese Corner” dan “Pusat Kajian Cirebonologi” IAIN Syekh Nurjati telah ditandatangani Sultan Sepuh XIV PRA. Arief Natadiningrat, S.E. dari keraton Kasepuhan Cirebon. Prasasti itu tertanggal 29 Maret 2016/20 Jumadil Akhir 1437 Hijratun Nabi dalam aksara pegon berbahasa Jawa dialek Cirebon. Aksara pegon tersebut mirip dengan aksara dalam naskah-naskah kuno Cirebon yang tersimpan di berbagai tempat koleksi naskah, antara lain keraton-keraton, dan koleksi masyarakat.

Tak lama setelah itu, pada tanggal yang sama, di gedung baru pascasarjana IAIN Syekh Nurjati Cirebon, diselenggarakan pula Pubilc Lecture (Kuliah Umum) tentang “Peta Strategis Cirebon dalam Sanad Ulama Nusantara dan Dunia Islam (Haramain, China, Turki, dan India)”. Pembicara pada kuliah umum tersebut berasal dari para peneliti, intelektual muslim, dan kiyai muda yang telah mengkaji Cirebon dalam berbagai perspektif, mulai dari peran penting dalam sejarah perkembangan Islam di dunia, maupun dalam perjuangan rakyat Indonesia. Public Lecture semacam ini penting dalam dunia akademik bagi para mahasiswa untuk memperkaya khazanah keilmuan di luar mata kuliah yang tak jarang kurang up date terhadap hasil penelitian terbaru dari peneliti atau dosen lainnya. Salah satunya adalah adanya silsilah Kyai atau Ulama Cirebon yang menjadi pentashih karya ulama di Madinah.

Sejalan dengan itu, pada tanggal 14 Januari 2016, saya telah menyampaikan hasil kajian tentang Cirebon melalui naskah kuno di hadapan para penguji yang terdiri dari 5 (lima) guru besar dan filolog, serta 3 (tiga) ilmuwan dalam bidang lain di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia untuk dipertahankan. Judul kajian disertasi saya, “Syattariyah wa Muhammadiyyah: Suntingan Teks, Terjemahan, dan Analisis Karakter Syattariyah di Keraton Kaprabonan Cirebon pada Akhir Abad ke-19”. Salah satu temuan disertasi saya itu menunjukkan bahwa silsilah Tarekat Syattariyah di Cirebon selain merupakan melting pot (titik temu) ulama Nusantara dan berjejaring dengan dunia Islam, juga mempunyai kekhasan sendiri yang berbeda dengan tempat lain, seperti Minangkabau, Pamijahan (Tasikmalaya), Aceh, Kendal, dst. Melting pot itu ditemukan pada sosok ulama yang merupakan guru Syaikh Abdurrauf as-Singkili, yaitu Syaikh Ahmad Qusyasyi. Adapun sanad yang berbeda dengan Syattariyah dari daerah lainnya ditemukan melalui sosok Abdullah bin Abdul Qahhar. Ulama kharismatik ini tercatatat dalam beberapa naskah kuno Syatariyah Cirebon dengan keragaman nama Syatariyahnya, seperti Syatariyah Muhammadiyah, Syatariyah Rifaiyah, dan Syatariyah Qadiriyyah. Apalagi, khusus Tarekat Syatariyah Muhammadiyah dicirikan dengan ilustrasi iwak telu sirah sanunggal. Sebuah ilustrasi ikan yang mencirikan ajaran tarekat Syatariyah dengan menggunakan prinsip lokalitas. Dengan ilustrasi ikan juga dapat ditemukan jaringan tarekat Syatariyah Muhammadiyah di Jawa. Hal itu tidak dapat dilepaskan dari kebesaran Cirebon sebagai tempat yang sangat strategis sejak abad ke-15/16, yaitu pada masa Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati).

Penelitian khusus tentang Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) pernah kami lakukan pada tahun 2011 bekerja sama dengan Balai Litbang Agama Jakarta. Dalam penelitian itu ditemukan bahwa secara arkeologis, filologis, dan historis bahwa Sunan Gunung Jati adalah tokoh historis, bukan tokoh mitos atau miologis. Di antara bukti-buktinya antara lain adanya Tajug Alit di keraton Kasepuhan, masjid Agung Sang Cipta Rasa di Kasepuhan, masjid Bata Merah (Panjunan), adanya Pelabuhan Cirebon, dan masih banyak bukti-bukti lainnya. Hasil penelitian ini dapat dibaca pula pada jurnal JUMANTARA (Jurnal Manuskrip Nusantara) terbitan Perpustakaan Nasional Jakarta. Oleh karenanya, tidak perlu ragu dan tidak diragukan lagi, bahwa Sunan Gunung Jati atau Syaikh Syarif Hidayatullah itu adalah tokoh historis, bukan tokoh mitos apalagi fiktik. Kebesaran dan kejayaan era Syarif Hidayatullah adalah sebuah bukti yang tak perlu disangsikan lagi, seperti disebut Mattew Isaac Cohen (1997, Yale University), “An Inheritannce from the Friends of God: The Southern Shadow Puppet Theater of West Java, Indonesia”.

Kajian Cohen di atas, menunjukkan bahwa mengkaji tentang Cirebon tidak hanya diminati oleh peneliti pribumi, wong dewek, Cirebon atau Indonesia, tetapi juga peneliti asing (orientalist). Tarian Topeng Samba Cirebon dari persembahan para mahasiswa PGMI Fak. Tarbiyah IAIN Syekh Nurjati Cirebon, seperti belum lama kita lihat tadi, mengingatkan saya pada disertasi Laurie Margot Ross (2009, University of California, Berkeley), “Journeying, Adaptation, and Translation: Topeng Cirebon at the Margins”. Dalam analisisnya tentang topeng, Ross menyebutkan bahwa salah satu jenis Topeng di Cirebon, merupakan manifestasi dari salah satu ajaran tarekat, antara lain tarekat Naqsabandiyah. Topeng juga pernah digunakan sebagai salah satu strategi dakwah dan politik untuk melawan ketidakadilan, pemerintahan yang lalim, baik pada era kolonial maupun kemerdekaan. Disebutkan dalam sebuah hasil penelitian lain (Jumega, SNEP, 2014) bahwa topeng pernah digunakan Sunan Gunung Jati bekerja sama dengan Sunan Kalijaga untuk penyebaran Islam dengan 6 (enam) jenis kesenian lainnya, yaitu Wayang Kulit, Gamelan Renteng, Brai, Angklung, Reong dan Berokan. Topeng berarti tertutup atau menutupi. Arti umum topeng mengandung pengertian penutup muka/kedok. Topeng ini salah satu jenis kesenian yang dikenal hampir seluruh daerah di Indonesia, bahkan dunia. Topeng Cirebon memiliki ciri khas berupa tingkatan karakter (halus, lincah, dan gagah). Topeng Cirebon mengandung nilai falsafah tentang manusia dan perilakunya, yang terlihat dari garis dan bentuk wajah topeng yang memberikan gambaran suatu karakter manusia. Topeng Samba berwarna dasar putih, terdapat ukiran rambut di antara bagian kepala. Topeng Samba menggambarkan karakter anak-anak. Kata samba sendiri berasal dari “samban waktu” yang melambangkan kita sebagai umat Islam harus melaksanakan shalat lima waktu.

Dengan demikian, Cirebonologi adalah sebuah kajian keilmuan tentang Cirebon, baik dari aspek sejarah, seni budaya, geo-politik, dan aspek-aspek lain yang berkaitan dengan dinamika Cirebon. Harapannya, problem radikalisme, dan terorisme yang pernah terjadi di Cirebon beberapa waktu lalu yang bisa saja muncul lagi, dapat diminimalisir kemunculuannya, bahkan dihilangkan dari Cirebon dengan mempelajari Cirebonologi.

Mengapa Harus Ada Cirebonologi?

 Dari paparan singkat di atas, kiranya jelas bahwa pembicaraan tentang Cirebon, mulai dari seni budaya, falsafah, bahasa dan aksara, ajaran-ajaran kehidupannya, tidak lepas dari perspektif keislaman. Bahkan disebutkan dalam sejarahnya, penamaan “Cirebon” sendiri adalah sebagai salah satu penanda dan pembeda dari keyakinan para leluhurnya yang masih belum masuk Islam pada abad ke-14/15. Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati hanyalah pewaris dan penerus dari para tokoh sebelumnya, seperti Walangsungsang, yang dikenal dengan Pangeran Cakrabuana atau Samadullah atau Haji Abdullah Iman, atau Mbah Kuwu Cirebon. Sebelumnya juga sudah ada Syekh Datuk Kahfi atau Syekh Nurjati, Syekh Qura, dan Syekh Magribi. Karenanya dari sisi penamaannya saja telah ada titik temu, bahwa asal usul Cirebon tidak lepas dari kontribusi keilmuan Syekh Nurjati, yang saat ini menjadi nama Institut Agama Islam Negeri di Cirebon.

Pada tahun 2012, bersamaan dengan pameran dan seminar koleksi langka dan koleksi khusus tentang Cirebon dari Perpustakaan Nasional Republik Indonesia bekerja sama dengan Pusat Perpustakaan IAIN Syekh Nurjati Cirebon, saya menulis di koran Fajar Cirebon, bertajuk “Perlunya Cirebonologi”. Dalam tulisan itu disebutkan bahwa pembicaraan Cirebon saat ini, selain berdasarkan sejarah masa lalu, juga harus melihat tantangan-tantangan sosial, politik, budaya, ekonomi, dan keagamaan saat ini. Karenanya, ketika tahun 2016, Cirebonologi diresmikan di IAIN Syekh Nurjati hanyalah “pintu gerbang” kajian dan ruang gerak untuk membuka cakrawala tentang Cirebon yang lebih luas lagi. Hal serupa diamanahkan Sultan Sepuh XIV PRA. Arief Natadiningrat pada saat penandatangan prasasti peresmian Cirebonese Corner.

Sebagai salah satu koleksi khusus yang menjadi ciri khas pusat perpustakaan IAIN Syekh Nurjati Cirebon, Cirebonese Corner atau “Pojok Cirebon” ini dapat menjadi tempat diskusi, ruang baca, ruang dialog, dan media bersama untuk mewujudkan visi bersama tentang Cirebonologi. Oleh karena menjadi ciri khusus, maka koleksi naskah kuno, terutama yang digital, harus diperbanyak lagi di pusat perpustakaan IAIN Syekh Nurjati, dan untuk mewujudkannya, insya Allah tidak terlalu lama lagi, sebab berbagai lembaga telah melakukannya, hanya sinergi antara lembaga yang perlu diintesnsifkan lagi, seperti Perpusnas, Balai Penelitian Agama Jakarta, Leipzig University, British Library, dst. Pada kesempatan ini, saya ingin menegaskan pada orasi saat ini bahwa kajian Cirebonologi di IAIN Syekh Nurjati Cirebon dapat diawali dari perspektif studi Islam dan studi kawasan. Dengan kedua perspektif tersebut diharapkan memberikan manfaat bagi bangsa Indonesia.

Cirebonologi dan Studi Kawasan

 Seperti disebut dalam paparan sebelum ini, Cirebon bukan semata-mata wilayah geo-politik pemerintahan, tetapi juga sarat dengan nuansa keislaman. Dalam konteks keislaman ini, berbagai teori sosial dapat digunakan. Di antara yang sudah digunakan oleh para peneliti sebelum ini, antara lain antropologi, ilmu kebudayaan, arkeologi, linguistik, dan filologi. Antropologi dan ilmu kebudayaan ini sengaja dibedakan, jika antropologi dapat dimasukkan pada ilmu-ilmu sosial politik, sedangkan ilmu kebudayaan lebih menitikberatkan pada material culture, seperti artefact, ideofact dan sociofact. Filologi (studi naskah kuno), misalnya, dalam diskursus pembelajaran organisasi pernaskahan, Manassa, studi naskah kuno Nusantara dapat diajarkan pada semua fakultas dan program studi/Jurusan di PTKI. Sebab, studi naskah kuno seperti di Cirebon ini hampir bersentuhan dengan proses kemanusiaan, seperti tarbiyah, syariah, dakwah, adab, dan ushuluddin.

Adapun tentang studi kawasan dalam ranah Cirebonologi, nampaknya lebih menitikberatkan pada aspek geografisnya, yang dapat dikaitkan dengan studi kawasan ekonomi, kawasan budaya, kawasan keraton/kota lama, kawasan sains, dst. Studi kawasan ini pula dapat bekerja sama dengan pihak-pihak berkepentingan di sekitar kota/kabupaten Cirebon, dan kota-kota lain yang bersentuhan langsung maupun tidak langsung. Studi kawasan ekonomi misalnya, kajian Cirebon dapat berupa studi kawasan ekonomi perdagangan, kawasan ekonomi rumah tangga, ekonomi pariwisata, dst. Sebab, studi-studi tersebut berkaitan langsung dengan situasi dan kondisi bangsa Indonesia.

Sumbangan Cirebonologi bagi Bangsa Indonesia

Akhirnya, dari semua paparan di atas, apabila pusat kajian Cirebonologi IAIN Syekh Nurjati berjalan sesuai dengan grand design di atas dan mendapat dukungan dari berbagai pihak kepentingan (stakeholders), insya Allah Cirebonologi akan mempunyai masa depan yang jelas dan dapat memberikan sumbangan yang tidak kecil bagi bangsa Indonesia saat ini dan mendatang, terutama bagi wong Cirebon. Maka tidak berlebihan, bila terdapat ungkapan dari masa ke masa bahwa Cirebon adalah Puser Bumi. Cirebon adalah titik temu peradaban Barat dan Timur (Majma’ul Bahrain). Cirebon adalah melting pot dari berbagai studi keislaman klasik dan kontemporer. Cirebon adalah pintu peradaban Nusantara.

————————————————

*Penulis adalah dosen di Program Pascasarjana IAIN Syekh Nurjati Cirebon; doktor bidang filologi, dan Kepala Pusat Perpustakaan IAIN Syekh Nurjati Cirebon, 2015-2018. Tulisan ini pernah disampaikan dalam Wisuda Sarjana dan Magister XIII IAIN Syekh Nurjati Cirebon Tahun Akademik 2015/2016

Download full teks (PDF)

———————————————-

Artikel ini dimuat juga di Website NU Online dengan alamat http://www.nu.or.id/post/read/67052/cirebonologi-dalam-perspektif-studi-kawasan-dan-islam

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top